Sahabat, demikian saya menamai seseorang yang bersekutu dengan kita.
Sahabat adalah anugerah, yang mau menjadi pendengar ketika kita bicara,
yang dapat menasihati ketika kita alpha, yang menyemangati ketika kita
lemah atau putus asa, yang rela membantu ketika kita dalam kesulitan,
dan yang bisa menghibur ketika lara. Saat yang lain tidak punya
banyak waktu, sahabatlah yang menyediakan dirinya ketika kita ingin
bertukar pikiran atau meminta pertimbangan.
Sahabat juga amanah, yang harus kita jaga perasaannya, yang harus kita
atur interaksinya, dan yang harus kita pertahankan kelestariannya.
Karena interaksi persahabatan ada kalanya tidak seperti yang kita
harapkan. Bahasa, baik secara verbal mapun gesture berpotensi untuk
mencederai persahabatan. Kadang menurut kita benar namun baginya hati
telah tersakiti.
Apa yang kita pikirkan dan yang kita harapkan dari para sahabat harus ditanam juga di dalam diri sehingga kita pun dapat menjadi sahabat bagi orang lain. Ibarat simbiosis mutualisme, tidak ada tendensi untuk “memanfaatkannya” karena persahabatan terjadi atas dasar ikhlas. Seorang sahabat dapat melakukan “psikoterapi” baik dengan sengaja maupun tanpa sengaja atas “penderitaan” orang lain melalui motivasi, sugesti, nasihat, hiburan, atau hal lain dengan berbagai metode.
Hari ini saya berpikir tentang seorang sahabat. Sahabat yang memiliki
kelembutan hati, penyayang, penuh empati, “good listener”, dan berani
memberikan umpan balik sebagai koreksi dan evaluasi. Khususnya untuk
topik-topik tertentu yang hanya padanya saya mendapatkan pencerahan.
Fungsi sahabat tidak hanya membuat senang, dia terkadang membuat saya
menangis. Menangisi kekonyolan dan kefatalan perbuatan serta kata-kata.
Saya merasa sangat bersyukur memiliki sahabat seperti dia.
Saya selalu belajar dari sahabat saya tersebut meski dalam momen yang
singkat sekalipun. Banyak hikmah saya peroleh dari intrik-intrik kosa
kata yang terlontar dan mengimbas lebih banyak kepada saya, seperti
sinar yang ditembakkan ke sisi cermin cembung dan menghasilkan sudut
pembiasan lebih besar. Dalam proses pembelajaran tersebut, saya
sampaikan pernyataan yang benar dan saya sampaikan pula pernyataan yang
salah untuk memetik buah pikiran yang mungkin dalam “persembunyian”.
Dari situlah saya dapatkan pelajaran tentang hidup dan kehidupan:
tentang pentingnya harapan, kebenaran, kejujuran, ketaatan, komitmen,
kepatuhan, kesetiaan, konsistensi, keberanian, etika, bahkan tentang
bahasa.
co cwiit bgt...
BalasHapus